Ini mungkin hanya terjadi di Indonesia. Di sini, pemerintahnya justru lebih senang memihak perusahaan asing ketimbang perusahaan domestik—yang bahkan sahamnya dimiliki oleh pemerintahnya sendiri. Tengok saja, ketika sekarang Pertamina tengah bersitegang dengan ExxonMobil seputar pengelolaan ladang migas Cepu, pemerintah (selaku pemilik Pertamina) justru lebih condong ke Exxon. Begitu juga ketika Pertamina berusaha menafikan klaim gugatan senilai US$ 299 juta dari Karaha Bodas Company—asal Amerika. Pemerintah lagi-lagi lebih berpihak ke “sana�. Namun, Pertamina adalah Pertamina. Perusahaan ini boleh saja selalu dihinggapi masalah. Posisi puncak di BUMN itu juga ibarat kursi panas yang selalu membuat siapa pun bisa “terbakar� oleh banyaknya persoalan. Namun, toh pesona perusahaan pelat merah ini tetap luar biasa. Makanya selalu ada saja yang mau menjadi petingginya. Dan, dalam sepekan silam, beredarlah nama-nama yang disebut-sebut akan menjadi pemimpin baru di BUMN yang berkantor pusat di Medan Merdeka Timur, Jakarta, itu.
Lantas, tersebutlah nama Ary Sumarno, Direktur Pemasaran Niaga Pertamina saat ini, yang dikabarkan akan menjadi bos baru Pertamina, menggantikan Widya Purnama. Iin Arifin Takhyan yang kini menjabat sebagai Dirjen Migas juga sempat dijagokan. Tapi, katanya, Iin akan menjadi Wakil Direktur Utama. Lalu, ada juga nama Sonny Sumarsono yang bakal menjadi Direktur Umum dan SDM, A. Faisal (calon Direktur Pemasaran dan Niaga), Kun Kurnely (Direktur Hulu), A. Suroso (Direktur Pengolahan), dan Djaelani Sutomo (calon Deputi Direktur Pemasaran Niaga). Nama-nama itu beredar dari satu layar ponsel ke layar ponsel lainnya—melalui SMS—dan kemudian menjadi isu rame-rame. Beberapa orang yang namanya disebut di sana membantahnya. Suroso mengaku tak pernah tahu tentang kabar tersebut. Ary Sumarno sepertinya juga jengah mendengar selentingan itu. Djaelani malah terkekeh-kekeh. “Saya ini masih anak kemarin sore. Belum ada potongan buat jadi pejabat,� ujarnya. Semua orang memang bisa saja berkelit. Yang jelas, sinyal bakal adanya perombakan manajemen Pertamina tak bisa lagi dibantah. Soalnya, pekan silam, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah menegaskan soal itu di sela-sela kunjungan kenegaraan ke Yangoon, Myanmar. Menurut Presiden, Pertamina sudah seharusnya segera melakukan overhaul. Jadilah Widya Purnama sekarang ibarat sedang menghitung hari, menanti masa terakhirnya di Pertamina. Ini kali, sepertinya ia akan sulit bertahan. Apalagi, sejak agak lama Widya kurang disukai para petinggi negara. Tercatat, Menteri Negara BUMN, Sugiharto, sudah mengirim tujuh kali surat peringatan kepada bos Pertamina itu. Kalaupun posisi Widya selama ini aman dalam beberapa bulan terakhir, menurut seorang sumber, itu lebih karena ia dilindungi oleh Sudi Silalahi, Sekretaris Kabinet RI. Makanya ketika Sudi sekarang digoyang isu surat sakti, posisi Widya ikut-ikutan rawan. Namun, Widya tegas-tegas membantah hubungan antara dirinya dengan Sudi. “Jangan kait-kaitkan itu. Kasihan Pak Sudi. Beliau tidak punya hubungan apa-apa dengan Pertamina,� ujarnya. Ada atau tidak ada hubungan itu, tak banyak orang yang tahu. Yang pasti, posisi Widya sekarang tidak terlalu menguntungkan. Kendati begitu, Alfred Rohimone (Direktur Keuangan Pertamina) menegaskan belum ada satu nama pun yang sudah resmi diajukan kepada pemerintah sebagai calon anggota direksi baru Pertamina. Yang beredar lewat SMS tadi, kata Alfred, hanyalah permainan orang-orang politik. “Tapi, memang ada dari mereka yang benar-benar berharap jadi Direksi,� katanya. Seorang pejabat Pertamina lainnya mengamini keterangan Alfred. Menurutnya, memang ada sejumlah orang yang berusaha mendekat “ke atas� untuk berharap jabatan direktur. Nah, terhadap mereka yang seperti itu, sang sumber mengaku tak habis pikir. Soalnya, menjadi Direktur Pertamina sekarang sungguh bukan pekerjaan yang nyaman. Pejabat Pertamina yang menjadi sumber itu lalu menyebutkan bahwa tugas Direksi Pertamina nantinya adalah memuluskan masuknya ExxonMobil menjadi operator di Blok Cepu. Sekadar mengingatkan, Blok Cepu adalah ladang minyak dan gas raksasa di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sebelumnya, sudah disepakati bahwa Cepu akan digarap kontraktornya dengan sistem bagi hasil. Pemerintah RI menerima bagian 85%--dengan asumsi harga minyak di atas US$ 45 per barel. Yang 15% dibagi untuk para kontraktor: ExxonMobil, Pertamina, dan pemerintah daerah. Exxon dan Pertamina mendapat masing-masing 45% dari yang 15% tadi. Sisa yang 10% bakal didapat pemerintah daerah. Terganjal Exxon, Karaha, Parigi, dan Dividen Pertamina dan Exxon ternyata tak bisa menyepakati pola pembagian kerja di Cepu. Exxon ingin menjadi operator tunggal selama 30 tahun. Tapi Pertamina meminta agar pengelolaan Cepu dilakukan bergantian oleh Pertamina dan Exxon, masing-masing selama lima tahun. Dua-duanya sama-sama ngotot. Pemerintah RI lalu menawarkan agar Pertamina dan Exxon membentuk perusahaan patungan baru. Masalahnya, Pertamina dan Exxon juga bisa berantem lagi dalam memperebutkan posisi general manager (GM) untuk perusahaan patungan baru tadi. Namun, di sinilah nantinya direksi yang baru berperan. Mereka akan mengalah dan menyerahkan jabatan GM kepada Exxon. Pejabat-pejabat pemerintah pun sedari sekarang sudah mengatakan bahwa “pengelolaan Blok Cepu bukan urusan nasionalisme, tetapi ini masalah profesionalisme.� Sebuah pernyataan yang arahnya gampang benar ditebak. Tidak itu saja, direksi baru juga akan menghadapi sejumlah persoalan lama--yang sempat ditanyakan pemerintah dalam RUPS Pertamina, Januari silam. Waktu itu, pemerintah--selaku pemegang saham—menyatakan kesiapan Pertamina menyediakan dana senilai US$ 299 juta untuk membayar klaim gugatan Karaha Bodas Company (sebuah perusahaan Amerika yang pernah menggugat Pertamina). Widya Purnama sebenarnya enggan membayar klaim tersebut. Tapi, kalaupun itu harus, maka ia hanya mau membayar US$ 50 juta. Persoalan lainnya, pemerintah juga menyalahkan Direksi Pertamina karena telah membatalkan proses tender pengelolaan ladang gas Blok L Parigi, Jawa Barat, yang sebenarnya sudah terjadi pada tahun silam. Padahal, menurut sang sumber, pembatalan itu bukan karena kehendak Direksi Pertamina, melainkan karena adanya tekanan dari pihak yang kalah tender tetapi memiliki hubungan dengan pejabat tinggi di pemerintahan. “Posisi Direksi Pertamina akan sangat sulit karena masalah ini,� ujar sang sumber. Selesai? Belum. Beban lain buat Direksi Pertamina adalah soal tuntutan Kementerian BUMN agar Pertamina menyediakan dividen bagi pemerintah senilai Rp 15 triliun untuk tahun 2006. Widya Purnama memang sempat menyebutkan bahwa Pertamina bisa mendapatkan laba bersih hingga Rp 22 triliun pada tahun ini. Tapi, itu baru perhitungan optimistis. Soalnya, bisa saja laba bersih itu ternyata hanya Rp 12 triliun. Nah, biasanya, dividen untuk pemasukan anggaran negara mencapai 50% dari laba bersih. Artinya, target dividen yang ditetapkan Kementerian BUMN tadi nyata-nyata tidak realistis. Manajemen baru Pertamina akan dibikin tunggang-langgang dan anggaran negara pun bisa menjadi timpang.
Lantas, tersebutlah nama Ary Sumarno, Direktur Pemasaran Niaga Pertamina saat ini, yang dikabarkan akan menjadi bos baru Pertamina, menggantikan Widya Purnama. Iin Arifin Takhyan yang kini menjabat sebagai Dirjen Migas juga sempat dijagokan. Tapi, katanya, Iin akan menjadi Wakil Direktur Utama. Lalu, ada juga nama Sonny Sumarsono yang bakal menjadi Direktur Umum dan SDM, A. Faisal (calon Direktur Pemasaran dan Niaga), Kun Kurnely (Direktur Hulu), A. Suroso (Direktur Pengolahan), dan Djaelani Sutomo (calon Deputi Direktur Pemasaran Niaga). Nama-nama itu beredar dari satu layar ponsel ke layar ponsel lainnya—melalui SMS—dan kemudian menjadi isu rame-rame. Beberapa orang yang namanya disebut di sana membantahnya. Suroso mengaku tak pernah tahu tentang kabar tersebut. Ary Sumarno sepertinya juga jengah mendengar selentingan itu. Djaelani malah terkekeh-kekeh. “Saya ini masih anak kemarin sore. Belum ada potongan buat jadi pejabat,� ujarnya. Semua orang memang bisa saja berkelit. Yang jelas, sinyal bakal adanya perombakan manajemen Pertamina tak bisa lagi dibantah. Soalnya, pekan silam, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah menegaskan soal itu di sela-sela kunjungan kenegaraan ke Yangoon, Myanmar. Menurut Presiden, Pertamina sudah seharusnya segera melakukan overhaul. Jadilah Widya Purnama sekarang ibarat sedang menghitung hari, menanti masa terakhirnya di Pertamina. Ini kali, sepertinya ia akan sulit bertahan. Apalagi, sejak agak lama Widya kurang disukai para petinggi negara. Tercatat, Menteri Negara BUMN, Sugiharto, sudah mengirim tujuh kali surat peringatan kepada bos Pertamina itu. Kalaupun posisi Widya selama ini aman dalam beberapa bulan terakhir, menurut seorang sumber, itu lebih karena ia dilindungi oleh Sudi Silalahi, Sekretaris Kabinet RI. Makanya ketika Sudi sekarang digoyang isu surat sakti, posisi Widya ikut-ikutan rawan. Namun, Widya tegas-tegas membantah hubungan antara dirinya dengan Sudi. “Jangan kait-kaitkan itu. Kasihan Pak Sudi. Beliau tidak punya hubungan apa-apa dengan Pertamina,� ujarnya. Ada atau tidak ada hubungan itu, tak banyak orang yang tahu. Yang pasti, posisi Widya sekarang tidak terlalu menguntungkan. Kendati begitu, Alfred Rohimone (Direktur Keuangan Pertamina) menegaskan belum ada satu nama pun yang sudah resmi diajukan kepada pemerintah sebagai calon anggota direksi baru Pertamina. Yang beredar lewat SMS tadi, kata Alfred, hanyalah permainan orang-orang politik. “Tapi, memang ada dari mereka yang benar-benar berharap jadi Direksi,� katanya. Seorang pejabat Pertamina lainnya mengamini keterangan Alfred. Menurutnya, memang ada sejumlah orang yang berusaha mendekat “ke atas� untuk berharap jabatan direktur. Nah, terhadap mereka yang seperti itu, sang sumber mengaku tak habis pikir. Soalnya, menjadi Direktur Pertamina sekarang sungguh bukan pekerjaan yang nyaman. Pejabat Pertamina yang menjadi sumber itu lalu menyebutkan bahwa tugas Direksi Pertamina nantinya adalah memuluskan masuknya ExxonMobil menjadi operator di Blok Cepu. Sekadar mengingatkan, Blok Cepu adalah ladang minyak dan gas raksasa di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sebelumnya, sudah disepakati bahwa Cepu akan digarap kontraktornya dengan sistem bagi hasil. Pemerintah RI menerima bagian 85%--dengan asumsi harga minyak di atas US$ 45 per barel. Yang 15% dibagi untuk para kontraktor: ExxonMobil, Pertamina, dan pemerintah daerah. Exxon dan Pertamina mendapat masing-masing 45% dari yang 15% tadi. Sisa yang 10% bakal didapat pemerintah daerah. Terganjal Exxon, Karaha, Parigi, dan Dividen Pertamina dan Exxon ternyata tak bisa menyepakati pola pembagian kerja di Cepu. Exxon ingin menjadi operator tunggal selama 30 tahun. Tapi Pertamina meminta agar pengelolaan Cepu dilakukan bergantian oleh Pertamina dan Exxon, masing-masing selama lima tahun. Dua-duanya sama-sama ngotot. Pemerintah RI lalu menawarkan agar Pertamina dan Exxon membentuk perusahaan patungan baru. Masalahnya, Pertamina dan Exxon juga bisa berantem lagi dalam memperebutkan posisi general manager (GM) untuk perusahaan patungan baru tadi. Namun, di sinilah nantinya direksi yang baru berperan. Mereka akan mengalah dan menyerahkan jabatan GM kepada Exxon. Pejabat-pejabat pemerintah pun sedari sekarang sudah mengatakan bahwa “pengelolaan Blok Cepu bukan urusan nasionalisme, tetapi ini masalah profesionalisme.� Sebuah pernyataan yang arahnya gampang benar ditebak. Tidak itu saja, direksi baru juga akan menghadapi sejumlah persoalan lama--yang sempat ditanyakan pemerintah dalam RUPS Pertamina, Januari silam. Waktu itu, pemerintah--selaku pemegang saham—menyatakan kesiapan Pertamina menyediakan dana senilai US$ 299 juta untuk membayar klaim gugatan Karaha Bodas Company (sebuah perusahaan Amerika yang pernah menggugat Pertamina). Widya Purnama sebenarnya enggan membayar klaim tersebut. Tapi, kalaupun itu harus, maka ia hanya mau membayar US$ 50 juta. Persoalan lainnya, pemerintah juga menyalahkan Direksi Pertamina karena telah membatalkan proses tender pengelolaan ladang gas Blok L Parigi, Jawa Barat, yang sebenarnya sudah terjadi pada tahun silam. Padahal, menurut sang sumber, pembatalan itu bukan karena kehendak Direksi Pertamina, melainkan karena adanya tekanan dari pihak yang kalah tender tetapi memiliki hubungan dengan pejabat tinggi di pemerintahan. “Posisi Direksi Pertamina akan sangat sulit karena masalah ini,� ujar sang sumber. Selesai? Belum. Beban lain buat Direksi Pertamina adalah soal tuntutan Kementerian BUMN agar Pertamina menyediakan dividen bagi pemerintah senilai Rp 15 triliun untuk tahun 2006. Widya Purnama memang sempat menyebutkan bahwa Pertamina bisa mendapatkan laba bersih hingga Rp 22 triliun pada tahun ini. Tapi, itu baru perhitungan optimistis. Soalnya, bisa saja laba bersih itu ternyata hanya Rp 12 triliun. Nah, biasanya, dividen untuk pemasukan anggaran negara mencapai 50% dari laba bersih. Artinya, target dividen yang ditetapkan Kementerian BUMN tadi nyata-nyata tidak realistis. Manajemen baru Pertamina akan dibikin tunggang-langgang dan anggaran negara pun bisa menjadi timpang.
0 komentar:
Posting Komentar