Keadaan lingkungan hidup dari tahun ke tahun semakin memprihatinkan. Kerusakan lingkungan yang banyak menjadi sorotan masyarakat adalah kerusakan hutan. Berdasarkan catatan akhir tahun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), kerusakan hutan yang terjadi menyebabkan 83% (delapan puluh tiga persen) bencana banjir longsor di Indonesia. Menurut Supardi Lasaming, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Sulawesi Tengah, liberalisasi izin-izin di bidang lingkungan hidup dan pertambangan merupakan faktor utama peyebab kerusakan hutan. Lebih lanjut Supardi mengatakan bahwa selain investasi di bidang lingkungan hidup, penyebab lain dari terjadinya kerusakan hutan adalah investasi di bidang pertambangan.
Sebenarnya, sektor pertambangan mempunyai kontribusi yang besar terhadap penerimaan negara. Menurut Direktur Jenderal Mineral, Batubara, dan Panas Bumi (Minerbapabum) Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Simon F. Sembiring, investasi pada sektor pertambangan, yang terdiri dari bidang minyak dan gas bumi (migas), ketenagalistrikan, mineral, batubara, dan panas bumi, berjumlah sekitar 14,32 miliar dolar Amerika Serikat, pada tahun 2006. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan sektor pertambangan, khususnya migas, cenderung dipersepsikan sebagai sumber pencemaran lingkungan dan menganggu kelestarian hutan.
Seharusnya, pembangunan sektor migas dapat berjalan beriringan dengan pembangunan pada sektor lingkungan hidup. Terciptanya keseimbangan antara pemanfaatan dan kelestarian hutan dan migas merupakan prasyarat penting bagi terlaksananya keberlanjutan pembangunan sektor lingkungan hidup dan migas. Oleh karena itu, pada memo ini akan dicoba dibahas lebih lanjut mengenai keterkaitan antara sektor migas dengan kelestarian hutan.
Dasar Hukum
1. Undang-Undang No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas);
2. Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup (UU LH);
3. Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT).
Pembahasan
1. Ketentuan-ketentuan Umum Industri Migas
Kegiatan usaha migas seharusnya dilakukan dengan berdasarkan pada ekonomi kerakyatan, keterpaduan, manfaat, keadilan, keseimbangan, pemerataan, kemakmuran bersama dan kesejateraan rakyat banyak, keamanan, keselamatan, dan kepastian hukum serta berwawasan lingkungan. Adapun salah satu tujuan penyelenggaraan kegiatan usaha migas, menurut Pasal 3 huruf f adalah sebagai berikut:
“menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang adil dan merata, serta menjaga kelestarian lingkungan hidup.’
Dari kedua aturan di dalam UU Migas tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam pelaksanaan sektor industri migas, harus selalu memperhatikan aspek-aspek kelestarian lingkungan hidup, termasuk diantaranya adalah sektor lingkungan hidup.
Kegiatan usaha migas terdiri atas:
a. kegiatan usaha hulu yang mencakup:
a) eksplorasi;
b) eksplotasi.
b. Kegiatan usaha hilir yang mencakup:
a) Pengolahan;
b) Pengangkutan;
c) Penyimpanan;
d) Niaga.
Kegiatan usaha hulu dilaksanakan melalui Kontrak Kerja Sama, yang paling sedikit memuat ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a. Penerimaan negara;
b. Wilayah Kerja & pengembaliannya;
c. Kewajiban pengeluaran dana;
d. Perpindahan kepemilikan hasil produksi datas migas;
e. Jangka waktu dan kondisi perpanjangan kontrak;
f. Penyelesaian perselisihan;
g. Kewajiban pemasokan migas untuk kebutuhan dalam negeri;
h. Berakhirnya kontrak;
i. Kewajiban pasca operasi pertambangan;
j. Keselamatan dan kesehatan kerja;
k. Pengelolaan lingkungan hidup;
l. Pengalihan hak dan kewajiban;
m. Pelaporan yang diperlukan;
n. Rencana pengembangan lapangan;
o. Pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri;
p. Pengembangan masyarakat dan sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat;
q. Pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia.
Untuk menjamin agar industri migas dapat tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup, maka diperlukan peran serta pemerintah. Dalam hal ini pemerintah memiliki peranan sebagai regulator, sekaligus melaksanakan fungsi pengawasan. Pasal 39 ayat (1) UU Migas menyebutkan bahwa pemerintah berperan untuk melakukan pembinaan terhadap sektor usaha migas, yang antara lain mencakup penetapan kebijakan mengenai kegiatan usaha migas, berdasarkan pada:
a. cadangan dan potensi sumber daya migas yang dimiliki;
b. kemampuan produksi;
c. kebutuhan bahan bakar migas dalam negeri;
d. penguasaan teknologi;
e. aspek lingkungan dan pelestarian lingkungan hidup;
f. kemampuan nasional;
g. kebijakan pembangunan.
Sedangkan fungsi pengawasan yang dilakukan pemerintah antara lain pengawasan atas pekerjaan dan pelaksanaan kegiatan usaha migas terhadap ditaatinya ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang meliputi:
a. konservasi sumber daya dan cadangan migas;
b. pengelolaan data migas;
c. penerapan kaidah keteknikan yang baik;
d. jenis dan mutu hasil olahan migas;
e. alokasi dan distribusi Bahan Bakar Minyak dan bahan baku;
f. keselamatan dan kesehatan kerja;
g. pengelolaan lingkungan hidup;
h. pemanfaatan barang, jasa, teknologi, dan kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri;
i. penggunaan tenaga kerja asing;
j. pengembangan tenaga kerja Indonesia;
k. pengembangan lingkungan dan masyarakat setempat;
l. penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi migas;
m. kegiatan-kegiatan lain di bidang kegiatan usaha migas sepanjang menyangkut kepentingan umum.
Namun demikian, yang memegang peranan terpenting untuk menjamin agar sektor usaha migas dapat tetap menjaga kelestarian lingkungan, adalah badan usaha itu sendiri, sebagai pelaku di lapangan. Oleh karena itu, di dalam Pasal 40 UU Migas diatur mengenai kewajiban-kewajiban Badan Usaha dalam rangka menjamin kelestarian lingkungan hidup, yaitu sebagai berikut:
a. menjamin keselamatan dan kesehatan kerja serta pengelolaan lingkungan hidup dan menaati ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku dalam kegiatan usaha migas;
b. melakukan pencegahan dan penanggulangan pencemaran serta pemulihan atas terjadinya kerusakan lingkungan hidup, termasuk kewajiban pascaoperasi pertambangan;
c. bertanggung jawab dalam mengembangkan lingkungan dan masyarakat setempat .
Ketentuan Lingkungan hidup
Kewajiban badan usaha, termasuk yang bergerak dalam industri migas, untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup telah diatur dengan tegas di dalam UU LH, antara lain sebagai berikut:
a. dilarang melanggar mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup;
b. wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup, bagi rencana usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup;
c. wajib melakukan pengelolaan limbah hasil usaha dan/atau kegiatan;
d. wajib melakukan pengelolaan bahan berbahaya dan beracun.
Terhadap badan usaha yang melakukan pelanggaran atas ketentuan yang telah diatur tersebut, di dalam UU LH juga telah diatur mengenai sistem penjatuhan sanksi, yaitu sebagai berikut:
a. Sanksi administratif, sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) dan (2) serta Pasal 27 ayat (1) UU LH, sebagai berikut:
§ Mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran;
§ Menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran;
§ Melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan/atau pemulihan atas beban biaya;
§ Pembayaran sejumlah uang tertentu;
§ Pencabutan izin usaha dan/atau kegiatan.
b. Sanksi pidana, sebagaimana diatur dalam pasal 41-47 UU LH.
Contoh Kasus Industri Migas yang tidak menjaga kelestarian Lingkungan Hidup
a. Pencemaran Lingkungan oleh Lapindo Brantas Inc., di Porong, Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur
Sejak tahun 2006, pipa gas milik Lapindo Brantas Inc., yang terletak di Porong, mengalami kebocoran dan mengeluarkan lumpur dan air panas, bukan minyak atau gas, yang mencemari Kali Porong. Kondisi masih berlangsung sampai sekarang, bahkan semakin memburuk.
Sebenarnya, Lapindo Brantas, Inc., pada tahun 2004, sempet memperoleh peringkat merah dalam Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup sepanjang tahun 2003. peringkat merah ini diberikan pada badan usaha yang telah melaksanakan upaya pengendalian dan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup tetapi belum mencapai persyaratan minimum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lapindo Brantas Inc. Sudah memenuhi Baku Mutu Air Limbah dan Baku Mutu Emisi, tetapi belum mengajukan perizinan limbah B3.
b. Pencemaran Lingkungan di Pulau Biawak, Kabupaten Indramayu
Pulau Biawak di Indramayu tercemar oleh limbah dari salah satu industri migas yang beroperasi di Indramayu. Hal ini menyebabkan terganggunya ekosistem air di wilayah tersebut, selain itu juga menyebabkan matinya ikan-ikan dan menurunnya kualitas air, sehingga merugikan masyarakat sekitar.
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan
Melihat adanya fakta tetap adanya sektor industri migas yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup, maka pemerintah memberikan aturan yang tegas terhadap kewajiban industri sektor migas untuk menjaga kelesatarian lingkungan. Hal ini diatur di dalam Pasal 74 ayat (1) UU PT, yang berbunyi sebagai berikut:
“Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.”
Selain itu, untuk menjamin agar sektor industri migas benar-benar melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Perusahaan, UU PT juga telah mengatur mengenai mekanisme pemberian sanksi, yaitu di dalam Pasal 74 ayat (3), yang berbunyi sebagai berikut:
“Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Salah satu bentuk sanksi yang dapat dijatuhkan kepada sektor industri migas yang tidak melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan adalah berdasarkan pada aturan di dalam UU LH.
Penutup
Kelestarian lingkungan hidup merupakan tanggung jawab seluruh umat manusia, termasuk di antaranya pemerintah dan badan usaha. Industri sektor migas sebagai salah satu industri penyumbang terbesar devisa negara, yang juga banyak terkait dengan aspek lingkungan hidup, memiliki kewajiban untuk turut menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Hukum Indonesia telah memberikan pengaturan yang cukup jelas dan tegas bagi industri sektor migas terkait dengan kewajibannya dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup. Berbagai kasus kerusakan lingkungan hidup yang terjadi, yang disebabkan oleh industri sektor migas, merupakan bukti bahwa aturan yang ada belum terlaksana secara maksimal.
Diharapkan dengan adanya aturan mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan, sebagaimana diatur dalam UU PT, dapat menjadi pegangan bagi industri sektor migas untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Sebenarnya, sektor pertambangan mempunyai kontribusi yang besar terhadap penerimaan negara. Menurut Direktur Jenderal Mineral, Batubara, dan Panas Bumi (Minerbapabum) Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Simon F. Sembiring, investasi pada sektor pertambangan, yang terdiri dari bidang minyak dan gas bumi (migas), ketenagalistrikan, mineral, batubara, dan panas bumi, berjumlah sekitar 14,32 miliar dolar Amerika Serikat, pada tahun 2006. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan sektor pertambangan, khususnya migas, cenderung dipersepsikan sebagai sumber pencemaran lingkungan dan menganggu kelestarian hutan.
Seharusnya, pembangunan sektor migas dapat berjalan beriringan dengan pembangunan pada sektor lingkungan hidup. Terciptanya keseimbangan antara pemanfaatan dan kelestarian hutan dan migas merupakan prasyarat penting bagi terlaksananya keberlanjutan pembangunan sektor lingkungan hidup dan migas. Oleh karena itu, pada memo ini akan dicoba dibahas lebih lanjut mengenai keterkaitan antara sektor migas dengan kelestarian hutan.
Dasar Hukum
1. Undang-Undang No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas);
2. Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup (UU LH);
3. Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT).
Pembahasan
1. Ketentuan-ketentuan Umum Industri Migas
Kegiatan usaha migas seharusnya dilakukan dengan berdasarkan pada ekonomi kerakyatan, keterpaduan, manfaat, keadilan, keseimbangan, pemerataan, kemakmuran bersama dan kesejateraan rakyat banyak, keamanan, keselamatan, dan kepastian hukum serta berwawasan lingkungan. Adapun salah satu tujuan penyelenggaraan kegiatan usaha migas, menurut Pasal 3 huruf f adalah sebagai berikut:
“menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang adil dan merata, serta menjaga kelestarian lingkungan hidup.’
Dari kedua aturan di dalam UU Migas tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam pelaksanaan sektor industri migas, harus selalu memperhatikan aspek-aspek kelestarian lingkungan hidup, termasuk diantaranya adalah sektor lingkungan hidup.
Kegiatan usaha migas terdiri atas:
a. kegiatan usaha hulu yang mencakup:
a) eksplorasi;
b) eksplotasi.
b. Kegiatan usaha hilir yang mencakup:
a) Pengolahan;
b) Pengangkutan;
c) Penyimpanan;
d) Niaga.
Kegiatan usaha hulu dilaksanakan melalui Kontrak Kerja Sama, yang paling sedikit memuat ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a. Penerimaan negara;
b. Wilayah Kerja & pengembaliannya;
c. Kewajiban pengeluaran dana;
d. Perpindahan kepemilikan hasil produksi datas migas;
e. Jangka waktu dan kondisi perpanjangan kontrak;
f. Penyelesaian perselisihan;
g. Kewajiban pemasokan migas untuk kebutuhan dalam negeri;
h. Berakhirnya kontrak;
i. Kewajiban pasca operasi pertambangan;
j. Keselamatan dan kesehatan kerja;
k. Pengelolaan lingkungan hidup;
l. Pengalihan hak dan kewajiban;
m. Pelaporan yang diperlukan;
n. Rencana pengembangan lapangan;
o. Pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri;
p. Pengembangan masyarakat dan sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat;
q. Pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia.
Untuk menjamin agar industri migas dapat tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup, maka diperlukan peran serta pemerintah. Dalam hal ini pemerintah memiliki peranan sebagai regulator, sekaligus melaksanakan fungsi pengawasan. Pasal 39 ayat (1) UU Migas menyebutkan bahwa pemerintah berperan untuk melakukan pembinaan terhadap sektor usaha migas, yang antara lain mencakup penetapan kebijakan mengenai kegiatan usaha migas, berdasarkan pada:
a. cadangan dan potensi sumber daya migas yang dimiliki;
b. kemampuan produksi;
c. kebutuhan bahan bakar migas dalam negeri;
d. penguasaan teknologi;
e. aspek lingkungan dan pelestarian lingkungan hidup;
f. kemampuan nasional;
g. kebijakan pembangunan.
Sedangkan fungsi pengawasan yang dilakukan pemerintah antara lain pengawasan atas pekerjaan dan pelaksanaan kegiatan usaha migas terhadap ditaatinya ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang meliputi:
a. konservasi sumber daya dan cadangan migas;
b. pengelolaan data migas;
c. penerapan kaidah keteknikan yang baik;
d. jenis dan mutu hasil olahan migas;
e. alokasi dan distribusi Bahan Bakar Minyak dan bahan baku;
f. keselamatan dan kesehatan kerja;
g. pengelolaan lingkungan hidup;
h. pemanfaatan barang, jasa, teknologi, dan kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri;
i. penggunaan tenaga kerja asing;
j. pengembangan tenaga kerja Indonesia;
k. pengembangan lingkungan dan masyarakat setempat;
l. penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi migas;
m. kegiatan-kegiatan lain di bidang kegiatan usaha migas sepanjang menyangkut kepentingan umum.
Namun demikian, yang memegang peranan terpenting untuk menjamin agar sektor usaha migas dapat tetap menjaga kelestarian lingkungan, adalah badan usaha itu sendiri, sebagai pelaku di lapangan. Oleh karena itu, di dalam Pasal 40 UU Migas diatur mengenai kewajiban-kewajiban Badan Usaha dalam rangka menjamin kelestarian lingkungan hidup, yaitu sebagai berikut:
a. menjamin keselamatan dan kesehatan kerja serta pengelolaan lingkungan hidup dan menaati ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku dalam kegiatan usaha migas;
b. melakukan pencegahan dan penanggulangan pencemaran serta pemulihan atas terjadinya kerusakan lingkungan hidup, termasuk kewajiban pascaoperasi pertambangan;
c. bertanggung jawab dalam mengembangkan lingkungan dan masyarakat setempat .
Ketentuan Lingkungan hidup
Kewajiban badan usaha, termasuk yang bergerak dalam industri migas, untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup telah diatur dengan tegas di dalam UU LH, antara lain sebagai berikut:
a. dilarang melanggar mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup;
b. wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup, bagi rencana usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup;
c. wajib melakukan pengelolaan limbah hasil usaha dan/atau kegiatan;
d. wajib melakukan pengelolaan bahan berbahaya dan beracun.
Terhadap badan usaha yang melakukan pelanggaran atas ketentuan yang telah diatur tersebut, di dalam UU LH juga telah diatur mengenai sistem penjatuhan sanksi, yaitu sebagai berikut:
a. Sanksi administratif, sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) dan (2) serta Pasal 27 ayat (1) UU LH, sebagai berikut:
§ Mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran;
§ Menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran;
§ Melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan/atau pemulihan atas beban biaya;
§ Pembayaran sejumlah uang tertentu;
§ Pencabutan izin usaha dan/atau kegiatan.
b. Sanksi pidana, sebagaimana diatur dalam pasal 41-47 UU LH.
Contoh Kasus Industri Migas yang tidak menjaga kelestarian Lingkungan Hidup
a. Pencemaran Lingkungan oleh Lapindo Brantas Inc., di Porong, Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur
Sejak tahun 2006, pipa gas milik Lapindo Brantas Inc., yang terletak di Porong, mengalami kebocoran dan mengeluarkan lumpur dan air panas, bukan minyak atau gas, yang mencemari Kali Porong. Kondisi masih berlangsung sampai sekarang, bahkan semakin memburuk.
Sebenarnya, Lapindo Brantas, Inc., pada tahun 2004, sempet memperoleh peringkat merah dalam Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup sepanjang tahun 2003. peringkat merah ini diberikan pada badan usaha yang telah melaksanakan upaya pengendalian dan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup tetapi belum mencapai persyaratan minimum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lapindo Brantas Inc. Sudah memenuhi Baku Mutu Air Limbah dan Baku Mutu Emisi, tetapi belum mengajukan perizinan limbah B3.
b. Pencemaran Lingkungan di Pulau Biawak, Kabupaten Indramayu
Pulau Biawak di Indramayu tercemar oleh limbah dari salah satu industri migas yang beroperasi di Indramayu. Hal ini menyebabkan terganggunya ekosistem air di wilayah tersebut, selain itu juga menyebabkan matinya ikan-ikan dan menurunnya kualitas air, sehingga merugikan masyarakat sekitar.
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan
Melihat adanya fakta tetap adanya sektor industri migas yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup, maka pemerintah memberikan aturan yang tegas terhadap kewajiban industri sektor migas untuk menjaga kelesatarian lingkungan. Hal ini diatur di dalam Pasal 74 ayat (1) UU PT, yang berbunyi sebagai berikut:
“Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.”
Selain itu, untuk menjamin agar sektor industri migas benar-benar melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Perusahaan, UU PT juga telah mengatur mengenai mekanisme pemberian sanksi, yaitu di dalam Pasal 74 ayat (3), yang berbunyi sebagai berikut:
“Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Salah satu bentuk sanksi yang dapat dijatuhkan kepada sektor industri migas yang tidak melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan adalah berdasarkan pada aturan di dalam UU LH.
Penutup
Kelestarian lingkungan hidup merupakan tanggung jawab seluruh umat manusia, termasuk di antaranya pemerintah dan badan usaha. Industri sektor migas sebagai salah satu industri penyumbang terbesar devisa negara, yang juga banyak terkait dengan aspek lingkungan hidup, memiliki kewajiban untuk turut menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Hukum Indonesia telah memberikan pengaturan yang cukup jelas dan tegas bagi industri sektor migas terkait dengan kewajibannya dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup. Berbagai kasus kerusakan lingkungan hidup yang terjadi, yang disebabkan oleh industri sektor migas, merupakan bukti bahwa aturan yang ada belum terlaksana secara maksimal.
Diharapkan dengan adanya aturan mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan, sebagaimana diatur dalam UU PT, dapat menjadi pegangan bagi industri sektor migas untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup.