Mengenai penyebab terjadinya kenaikan harga dan kelangkaan BBM, saya menyimpulkan ada tiga faktor penyabab, yaitu: faktor teknis, faktor spekulatif, dan faktor politik ekonomi. Pertama, dari sisi teknis, kelangkaan BBM terjadi karena supply BBM bersubsidi berkurang sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan lokal dan nasional. Berkurangnya supply BBM disebabkan adanya program konversi minyak tanah ke gas LPG dan terjadinya goncangan harga minyak dunia. Meningkatnya harga minyak dunia sebesar 40% hanya dalam waktu empat bulan, menyebabkan kemampuan finansial Pertamina mengimpor minyak mentah dan BBM menjadi sangat terbatas. Akibatnya Pertamina tidak dapat memenuhi kebutuhan kilang minyaknya yang berdampak pada berkurangnya pasokan BBM. Dalam APBN 2007, alokasi BBM bersubsidi sudah dikurangi pemerintah dari semula 37,9 juta kilo liter pada tahun 2006 menjadi 36,9 juta kilo liter pada tahun ini.
Kedua, faktor spekulatif yang berasal dari dalam negeri dan luar negeri. Di dalam negeri adanya BBM bersubsidi dan BBM tidak bersubsidi untuk industri menyebabkan disparitas harga. Misalnya berdasarkan harga yang ditetapkan Pertamina tanggal 15 Desember 2007 untuk wilayah I, harga solar bersubsidi Rp 4.300 per liter sedangkan harga solar non subsidi mencapai Rp 8.235 per liter. Perbedaan harga ini menyebabkan terjadinya pasar gelap BBM. Sehingga sebagian pasokan BBM untuk masyarakat pada tahap distribusi diselewengkan ke industri, apalagi tingkat kenaikan harga BBM non subsidi pada Desember ini mencapai 21% lebih. Jadi kebijakan pemerintah menghapuskan sebagian subsidi memiliki dampak buruk yakni ekonomi gelap.
Dalam pengamatan saya yang paling banyak mendapatkan keuntungan dari kenaikan harga minyak dunia bukan negara eksportir minyak tetapi perusahaan-perusahaan pemilik ladang eksplorasi dan industri pengilangan minyak, serta para broker (spekulan). Sebagai gambaran, meskipun negara-negara OPEC menguasai 2/3 cadangan minyak dunia dan volume ekspor minyak mentahnya 40% dari ekspor dunia, negara-negara OPEC hanya memiliki sarana pengolahan minyak 10% saja. Sedangkan negara-negara maju menguasai 60% industri pengolahan minyak dunia yang mayoritas dimiliki beberapa perusahaan saja seperti Chevron, ExxonMobil, ConocoPhilips, Sheel, Texaco, BP, UNOCAL, dan Hallilburton.
Ketiga, faktor politik ekonomi sangat menentukan penguasaan dan harga minyak dunia. Faktor ini pula yang menyebabkan spekulasi lokal dan internasional, dan supply yang tidak berimbang di tingkat nasional. Di Indonesia sejak Orde Baru pemerintah telah meliberalisasi sektor hulu (upstream) migas sehingga hampir 90% produksi minyak Indonesia dikuasai asing. Paska reformasi, pemerintah dan DPR kebablasan dengan mengeluarkan UU Migas no 22 tahun 2001. Undang-undang yang draftnya dibuat oleh Amerika melalui lembaga bantuannya USAID dan Bank Pembangunan Asia semakin memantapkan liberalisasi di sektor hulu dan memberikan jalan bagi swasta dan asing berinvestasi dalam bisnis SPBU dan pendristibusian BBM. Liberalisasi sektor hilir (downstream) migas ini mendorong pemerintah untuk menaikan harga BBM dengan cara mengurangi subsidi untuk menarik investor asing.
SUMBER: http://jurnal-ekonomi.org/2007/12/29/bbm-langka-dan-mahal-karena-negara-lepas-tanggung-jawab-lanjutan-1/